Boros Energi? Data Center Google Telan 30,8 Juta MW di 2024

TEKNA TEKNO – JAKARTA — Google mengungkapkan data mengejutkan bahwa pusat data mereka telah mengonsumsi daya hingga 30,8 juta megawatt-jam listrik sepanjang tahun 2024. Angka ini menandai peningkatan signifikan, yakni melonjak lebih dari dua kali lipat, jika dibandingkan dengan konsumsi pada tahun 2020 yang tercatat sebesar 14,4 juta megawatt-jam, demikian dilaporkan oleh TechCrunch pada Rabu (2/7/2025).

Di tengah pertumbuhan konsumsi energi ini, Google sejak lama telah berkomitmen untuk menggunakan sumber energi bebas karbon dalam seluruh operasionalnya. Namun, ekspansi pusat data yang begitu pesat membuat komitmen ambisius ini menjadi semakin berat untuk diwujudkan. Hampir seluruh kebutuhan daya listrik Google pada tahun 2024, sekitar 95,8%, dialokasikan untuk mengoperasikan fasilitas penting tersebut. Rasio konsumsi daya antara pusat data dan kebutuhan operasional lainnya juga menunjukkan konsistensi selama empat tahun terakhir.

Melakukan perhitungan mundur berdasarkan rasio tersebut, diperkirakan pada tahun 2014, pusat data Google hanya mengonsumsi sedikit lebih dari 4 juta megawatt-jam. Dengan demikian, dalam satu dekade terakhir, konsumsi energi data center Google telah naik hampir tujuh kali lipat, sebuah lonjakan yang mencengangkan.

Google dikenal luas sebagai pionir dalam hal efisiensi energi data center, bahkan kerap dipuji sebagai perusahaan teknologi terdepan dalam optimasi ini. Namun, seiring dengan rasio Power Usage Effectiveness (PUE) perusahaan yang mendekati angka ideal 1,0, peningkatan efisiensi menjadi lebih lambat. Pada tahun 2024, PUE Google tercatat sebesar 1,09, hanya membaik 0,01 poin dari tahun sebelumnya dan 0,02 dari satu dekade lalu, menunjukkan bahwa batas efisiensi fisik mulai tercapai.

Menyadari kebutuhan daya yang terus meroket, Google mulai menggelontorkan investasi signifikan pada berbagai sumber energi bebas karbon. Upaya ini mencakup eksplorasi energi panas bumi (geothermal), dua jenis energi nuklir (fisi dan fusi), serta pengembangan sumber energi terbarukan lainnya.

Energi panas bumi dipandang sangat menjanjikan karena kemampuannya menghasilkan listrik yang stabil tanpa tergantung pada kondisi cuaca. Beberapa startup seperti Fervo Energy, yang didukung oleh Google, telah berhasil mengembangkan teknologi pengeboran inovatif untuk memanfaatkan potensi energi ini secara lebih luas.

Dalam sektor energi nuklir, Google baru-baru ini mengumumkan investasi pada Commonwealth Fusion Systems. Perusahaan raksasa teknologi ini juga akan membeli 200 megawatt listrik dari pembangkit Arc mereka, yang ditargetkan mulai beroperasi pada awal tahun 2030-an. Sementara itu, untuk energi fisi, Google telah berkomitmen untuk membeli 500 megawatt listrik dari Kairos Power, sebuah perusahaan pengembang reaktor modular kecil.

Meskipun investasi pada proyek nuklir ini besar, kedua proyek tersebut belum akan menghasilkan listrik dalam waktu dekat, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Di sisi lain, Google juga aktif mengakuisisi kapasitas dari sumber energi terbarukan. Pada Mei 2025, Google membeli kapasitas 600 megawatt dari pembangkit surya di Carolina Selatan, dan pada Januari sebelumnya, mereka mengumumkan kerja sama untuk 700 megawatt pembangkit surya di Oklahoma. Bersama Intersect Power dan TPG Rise Climate, Google tengah membangun beberapa gigawatt kapasitas pembangkit bebas karbon, dengan total nilai investasi mencapai US$20 miliar atau setara dengan sekitar Rp324 triliun (dengan kurs 16.202 per dolar AS).

Secara total, Google memang telah mengontrak energi terbarukan dalam jumlah yang setara dengan total konsumsi energi mereka. Namun, tantangan utamanya terletak pada kenyataan bahwa sumber-sumber tersebut seringkali tidak selaras dengan waktu dan lokasi kebutuhan daya. “Kami sejak awal menyatakan bahwa pencapaian 100% pemadanan energi secara tahunan bukanlah tujuan akhir. Tujuan akhir kami adalah mencapai penggunaan energi bebas karbon 24/7 di seluruh lokasi operasi kami, sepanjang waktu,” jelas Michael Terrell, Kepala Divisi Energi Terbarukan Google.

Secara global, baru sekitar 66% dari konsumsi pusat data Google yang dipadankan secara real-time dengan listrik bebas karbon. Angka ini juga sangat bervariasi antar wilayah; di Amerika Latin, persentasenya sudah mencapai 92%, namun di kawasan Timur Tengah dan Afrika, angkanya baru menyentuh 5%. Menurut Terrell, perbedaan dan hambatan inilah yang mendorong Google untuk berinvestasi pada sumber energi stabil seperti fisi dan fusi. “Untuk bisa mencapai target kami, teknologi-teknologi ini sangat dibutuhkan,” pungkasnya.

Ringkasan

Pusat data Google mengonsumsi daya hingga 30,8 juta megawatt-jam listrik pada tahun 2024, lebih dari dua kali lipat konsumsi tahun 2020 dan hampir tujuh kali lipat dari tahun 2014. Sekitar 95,8% kebutuhan daya Google dialokasikan untuk fasilitas tersebut. Meskipun Google dikenal sebagai pemimpin efisiensi data center dengan PUE 1,09, peningkatan efisiensi fisik telah melambat.

Google berkomitmen menggunakan sumber energi bebas karbon penuh, tetapi ekspansi pusat data yang pesat menjadi tantangan. Perusahaan menginvestasikan secara signifikan pada energi panas bumi dan nuklir (fisi dan fusi) untuk mendapatkan pasokan yang stabil, meskipun proyek ini belum beroperasi dalam waktu dekat. Selain itu, Google aktif mengakuisisi kapasitas energi terbarukan, namun fokus utamanya adalah mencapai pemadanan energi bebas karbon 24/7 di semua lokasi, yang secara global baru mencapai 66%.

You might also like