
TEKNA TEKNO JAKARTA. Kinerja sektor konsumsi Indonesia pada paruh pertama 2025 masih lesu. Lemahnya daya beli masyarakat dan tren downtrading—beralih ke produk lebih terjangkau—menjadi faktor utama. Ketidakpastian ekonomi global semakin memperparah situasi.
Menurut Abdul Azis Setyo Wibowo dari Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, ancaman global seperti konflik Timur Tengah (yang berpotensi menaikkan harga minyak) dan fluktuasi nilai tukar rupiah, terus menekan biaya perusahaan dan daya beli masyarakat. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan paket stimulus, tingginya harga barang masih menghambat pemulihan.
“Walaupun ada stimulus pemerintah, harga barang yang tinggi berpotensi menekan daya beli,” ungkap Azis kepada Kontan.co.id, Kamis (26/6).
Pandangan serupa disampaikan Andrianto Saputra, analis Indo Premier Sekuritas. Ia menilai prospek sektor konsumsi masih netral, terbebani harga bahan baku yang tinggi dan pemulihan konsumsi domestik yang belum optimal.
“Sektor konsumsi belum sepenuhnya pulih dari tekanan karena daya beli konsumen masih tertahan. Namun, ada potensi perbaikan pada beberapa emiten tertentu,” tegas Andrianto.
Indo Premier memproyeksikan kinerja beragam di antara emiten konsumsi. ICBP diperkirakan membukukan pertumbuhan penjualan 7,3% secara tahunan (year on year/YoY) di kuartal II 2025, didukung kenaikan harga mi instan dan penurunan harga minyak sawit mentah (CPO). KLBF juga diproyeksikan tumbuh 5,4% yoy, terutama dari segmen farmasi dan consumer health.
Sebaliknya, SIDO dan UNVR diperkirakan mengalami penurunan penjualan masing-masing sebesar 6,5% dan 9,0% yoy. Hal ini mencerminkan penurunan konsumsi produk herbal dan kebutuhan rumah tangga premium. Tren downtrading tetap menjadi tantangan utama.
“Tren downtrading masih terjadi, mendorong konsumen beralih ke produk yang lebih terjangkau,” lanjut Andrianto.
Dari sisi profitabilitas, Indo Premier memproyeksikan perbaikan gross profit margin (GPM) secara kuartalan untuk ICBP (naik menjadi 38,5% atau 233bps quarter on quarter/qoq) dan UNVR (49,7% atau 157bps qoq), dipicu penurunan harga CPO dan minyak mentah Brent. Namun, MYOR dan SIDO diprediksi menghadapi tekanan marjin akibat harga kopi dan kakao yang tinggi.
Meskipun proyeksi kuartal II MYOR berada di bawah ekspektasi, Andrianto melihat peluang pemulihan marjin di semester II 2025 seiring penurunan harga komoditas. Harga kopi dan kakao menunjukkan tren penurunan pasca panen global yang lebih baik dari perkiraan.
Secara keseluruhan, Indo Premier mempertahankan rekomendasi netral untuk sektor konsumsi, menyarankan strategi selektif dengan fokus pada saham KLBF dan ICBP yang dinilai lebih tahan terhadap tekanan dan memiliki pertumbuhan pendapatan lebih stabil. Sementara itu, Azis merekomendasikan AMRT dengan target harga Rp 2.630, menganggap saham tersebut undervalue.
Risiko utama yang perlu diwaspadai adalah lonjakan harga bahan baku dan ketidakpastian pemulihan daya beli masyarakat.
Kinerja sektor konsumsi Indonesia di paruh pertama 2025 masih lemah, disebabkan daya beli masyarakat yang rendah dan tren downtrading. Ketidakpastian ekonomi global, seperti konflik Timur Tengah dan fluktuasi nilai tukar rupiah, semakin memperburuk situasi meskipun pemerintah telah mengeluarkan stimulus.
Analis memproyeksikan kinerja beragam di antara emiten konsumsi. ICBP dan KLBF diperkirakan tumbuh positif, sementara SIDO dan UNVR mengalami penurunan penjualan. Indo Premier merekomendasikan strategi selektif dengan fokus pada KLBF dan ICBP. Azis dari Kiwoom Sekuritas merekomendasikan AMRT. Risiko utama tetap pada lonjakan harga bahan baku dan pemulihan daya beli yang belum pasti.