
TEKNA TEKNO – JAKARTA — Bursa Efek Indonesia (BEI) secara proaktif merumuskan beragam strategi untuk mendorong aktivitas perdagangan saham sekaligus memperkuat struktur pasar modal Indonesia. Sejumlah inisiatif krusial, meliputi rencana penambahan jam perdagangan, pembukaan kembali kode broker dan domisili investor, hingga peluncuran program liquidity provider, siap diluncurkan secara bertahap mulai kuartal III/2025. Teranyar, BEI mengungkapkan tengah mengkaji kemungkinan penambahan jam perdagangan saham di Bursa menjadi lebih awal, yakni pukul 08.00 WIB, atau memperpanjang waktu penutupan hingga pukul 17.00 WIB.
Jeffrey Hendrik, Direktur Pengembangan BEI, menjelaskan bahwa kajian mendalam ini bertujuan untuk meningkatkan pengalaman pasar saham, memperluas likuiditas, serta memberikan layanan optimal bagi seluruh investor, baik domestik maupun asing. “Penyesuaian jam perdagangan ini meliputi berbagai kemungkinan, apakah ditambah di awal, diperpanjang di akhir, atau hanya digeser. Semua skenario masih dalam tahap kajian dan belum ada keputusan final,” ujarnya di Jakarta, Senin (16/6/2025). Pertimbangan ini mengakomodasi masukan beragam dari pemangku kepentingan, termasuk investor institusi dan ritel di seluruh Indonesia. BEI secara khusus turut mempertimbangkan waktu operasional investor institusi asing, terutama yang memiliki basis perdagangan di Hong Kong. Jeffrey menekankan, “Sebagian besar investor institusi dari Amerika Serikat dan Eropa memiliki desk di Hong Kong. Artinya, Hong Kong keberadaannya cukup penting.”
Selain itu, BEI juga mencermati tren distribusi investor dalam negeri. Jika sebelumnya lebih dari 70% investor ritel berasal dari Pulau Jawa, kini porsinya turun ke kisaran 67% hingga 68%, dengan pertumbuhan signifikan terjadi di wilayah Indonesia tengah dan timur. “Distribusi geografis investor domestik juga menjadi pertimbangan penting. Kami ingin memastikan seluruh investor dapat mengakses pasar secara optimal tanpa dibatasi perbedaan waktu operasional,” imbuhnya. Sebagai bagian dari upaya ini, BEI turut melakukan benchmarking terhadap jam perdagangan bursa regional lainnya seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam, guna menjaga daya saing pasar modal Indonesia di kawasan. Jeffrey menegaskan bahwa seluruh pertimbangan ini akan dianalisis secara komprehensif oleh otoritas, dan keputusan akhir tidak akan semata-mata didasarkan pada kepentingan investor asing.
Rencana penambahan jam perdagangan saham ini memicu beragam pandangan dari pelaku industri. Liza Camelia Suryanata, Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, menyuarakan keraguan terhadap efektivitas kebijakan ini dalam mendongkrak tingkat likuiditas pasar. Menurutnya, penambahan jam perdagangan Bursa belum tentu berkorelasi positif dengan peningkatan produktivitas di lantai bursa, bahkan berpotensi menambah pengeluaran terhadap biaya operasional. “Belum tentu menambah produktivitas dan hasil, harus diperhitungkan untung atau ruginya matang-matang,” katanya saat dihubungi, Senin (16/6/2025). Liza juga mempertanyakan peran Danantara yang santer disebut sebagai liquidity provider, menanyakan strategi kerja mereka dalam meningkatkan likuiditas pasar.
Di sisi lain, Nafan Aji Gusta, Senior Market Chartist Mirae Asset Sekuritas Indonesia, justru memandang perpanjangan jam perdagangan Bursa sebagai langkah esensial. Ia berpendapat bahwa kebijakan ini tidak hanya berpotensi menarik investor dari Asia, tetapi juga bahkan dari Eropa. Nafan optimistis bahwa perpanjangan jam perdagangan akan memperlihatkan dampak positifnya terhadap pasar modal Indonesia dalam jangka panjang. “Yang paling penting adalah BEI secara konsisten bisa berinovasi dalam menghasilkan berbagai kebijakan yang memang sifatnya bisa meningkatkan likuiditas pasar kita,” ujarnya. Namun, Nafan menekankan pentingnya penguatan infrastruktur pasar modal. Ia mengingatkan bahwa BEI tidak hanya perlu memperpanjang jam perdagangan, tetapi juga harus memastikan kemudahan transaksi bagi investor domestik dan internasional. “Karena tujuannya kan untuk meningkatkan likuiditas, otomatis infrastruktur pasar modal tanah air harus mumpuni, harus mendukung,” tegasnya.
Tantangan Likuiditas dan Inovasi BEI
Likuiditas dan aktivitas transaksi saham di BEI memang masih menghadapi sejumlah tantangan, kendati pertumbuhan jumlah investor pasar modal terbilang pesat. Hingga Mei 2025, jumlah investor pasar modal mencapai 16,56 juta single investor identification (SID), termasuk saham, obligasi, dan reksa dana, dengan investor saham menembus 7 juta SID. Dalam lima bulan pertama 2025, terjadi penambahan 1,7 juta SID dari akhir 2024, menjadikan target penambahan 2 juta investor baru pada 2025 sangat berpeluang tercapai sebelum akhir tahun. Meskipun demikian, Rata-rata Nilai Transaksi Harian (RNTH) per Mei 2025 baru mencapai Rp12,90 triliun, di bawah target BEI sebesar Rp13,5 triliun untuk 2025. Selain itu, likuiditas saham di bursa juga belum merata, dengan sekitar 70% saham memiliki aktivitas transaksi di bawah rata-rata pasar, dan 75% saham memiliki spread harian yang lebih tinggi dari rata-rata pasar, yang mengindikasikan sulitnya transaksi.
Untuk mengatasi berbagai tantangan likuiditas dan transaksi saham, BEI telah menyiapkan serangkaian inovasi kebijakan baru. Di antaranya adalah implementasi program liquidity provider dan short selling, yang direncanakan meluncur pada kuartal III/2025. BEI juga akan membuka kembali kode broker dan kode domisili investor pada akhir perdagangan sesi I, yang sebelumnya ditutup sejak Desember 2021. Sebagai informasi, liquidity provider saham adalah anggota bursa (AB) atau sekuritas yang disetujui BEI dan memiliki kewajiban untuk melakukan kuotasi jual dan beli secara berpasangan dan berkelanjutan atas saham tertentu. Dengan kehadiran liquidity provider, diharapkan transaksi saham di 90 persentil terbawah dapat meningkat hingga 11,5%, serta rata-rata spread harian di pasar dapat berkurang menjadi kurang dari 3 tick. Jeffrey Hendrik menargetkan implementasi program ini dapat terlaksana pada kuartal III/2025, dengan 13 sekuritas telah menyatakan minatnya. “Buat investor dua hal yang sangat penting, yakni keuntungan dan likuiditas. On paper dia untung [bila sahamnya naik], tapi kalau pada saat dia mau menjual tidak ada yang mau beli, enggak ada gunanya. Itulah yang mau kami berikan di BEI untuk meningkatkan likuiditas dari saham-saham yang ada,” jelasnya kepada Bisnis, Selasa (10/6).
Mengenai mekanisme short selling, yang memungkinkan investor meminjam saham untuk dijual dengan harga pasar dan membeli kembali di harga lebih rendah demi keuntungan dari selisih harga, Jeffrey mengakui praktik ini berisiko, terutama saat kondisi pasar tertekan seperti saat indeks harga saham gabungan (IHSG) terpukul mulai Februari 2025. Oleh karena itu, implementasi kebijakan tersebut ditunda hingga pasar lebih kondusif. “Untuk memberikan perlindungan kepada investor, kami memilih untuk menunda short selling sampai dengan September. Mudah-mudahan pada saat itu kondisi pasar sudah kondusif,” imbuhnya. Terkait pembukaan kode domisili dan kode broker, Jeffrey menyampaikan rencana tersebut hanya akan dilakukan pada penutupan perdagangan sesi I dan II, tidak secara real time seperti sebelumnya. Saat ini, BEI telah meminta vendor untuk menyesuaikan proses pelaporan dan menargetkan pembukaan ini dapat berlaku dalam tiga bulan ke depan, atau lebih cepat jika memungkinkan.
Di luar berbagai inovasi kebijakan, BEI bersama pemangku kepentingan lainnya gencar menggalakkan edukasi literasi keuangan. Jeffrey menekankan bahwa literasi adalah “perlindungan pertama bagi investor” agar mereka memahami manajemen risiko dan perhitungan keuntungan dalam berinvestasi. Program edukasi ini menjangkau lembaga pendidikan, mulai dari perguruan tinggi melalui Galeri Investasi hingga sekolah menengah atas (SMA) dalam wadah Galeri Edukasi. Mahasiswa yang umumnya sudah memiliki KTP dapat langsung menjadi investor, sementara siswa SMA diberi pemahaman dasar. “Kami percaya yang sekarang di SMA dan di perguruan tinggi, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun lagi, merekalah pelaku ekonomi yang sebenarnya. Jadi pemberian literasi sejak dini sangat penting,” jelasnya. Jeffrey tetap optimistis bahwa target penambahan investor pasar modal sebesar 2 juta SID dan RNTH Rp13,5 triliun pada 2025 dapat tercapai, mengingat pertumbuhan investor tahun lalu mencapai 2,7 juta SID. “Artinya, sekalipun target sudah tercapai [seperti pada 2024], kami akan terus menjalankan rencana kerja sampai akhir tahun. Kami akan bekerja keras untuk itu,” tegasnya.
Peran Transparansi dan Saran Pelaku Industri
Direktur Panin Asset Management, Rudiyanto, menggarisbawahi bahwa transparansi adalah aspek krusial dalam mendorong aktivitas pasar. Keterbukaan informasi, termasuk kode broker dan domisili investor, dinilai dapat meningkatkan kenyamanan investor dalam mengambil keputusan. Untuk lebih mendongkrak transaksi saham di BEI, ia juga mengusulkan evaluasi aturan mengenai porsi minimal saham publik atau free float yang saat ini hanya 7,5%. Angka ini tergolong rendah dibandingkan bursa luar negeri, di mana kepemilikan saham investor AS cenderung tersebar. “Di Indonesia, rata-rata pengendali masih memegang lebih dari 50%. Meningkatkan jumlah saham free float ke 15%–20% akan lebih baik,” paparnya.
Rully Arya, Chief Economist & Head of Research Mirae Asset Sekuritas, menyarankan peningkatan edukasi dan literasi keuangan untuk memacu pemahaman dan partisipasi aktif masyarakat. Hal ini, menurutnya, harus diimbangi dengan digitalisasi dan penyederhanaan proses transaksi di pasar modal agar akses menjadi lebih inklusif dan efisien. Ia juga menilai kebijakan pembukaan kode broker dan domisili investor dapat menjadi stimulus positif untuk meningkatkan transparansi serta mendorong aktivitas transaksi di bursa. Namun, langkah ini perlu diiringi penguatan regulasi dan edukasi yang memadai agar manfaatnya benar-benar dirasakan pasar secara keseluruhan.
Sementara itu, Ady Nugraha, Co-Founder Komunitas Syariah Saham sekaligus Direktur Utama PT Syariah Saham Indonesia, menilai pembukaan kode broker dan kode domisili pada sesi pertama akan secara signifikan meningkatkan gairah transaksi investor lokal, sekaligus melatih mereka menghindari sikap fear of missing out (FOMO). “Karena pembukaan ini akan memicu ketertarikan. Contohnya, harga saham A sedang kenapa, nih? Apakah karena asing, atau ada broker tertentu yang borong sebagai indikasi buyback, misalnya. Tentu rasa penasaran lebih cepat terbayarkan dan bisa bikin transaksi lebih ramai,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (11/6/2025). Ady percaya bahwa pembukaan kode broker dan kode domisili secara parsial tidak akan memicu herding behaviour, sebab informasi tersebut hanya akan membantu dalam mengambil sikap atau meningkatkan keyakinan. Terlebih, dengan kehadiran beragam liquidity provider, pembukaan informasi ini justru dapat memberikan transparansi dan perlindungan bagi investor ritel lokal, memungkinkan analisis tetap berjalan.
Ketua Umum Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Yumetri Abidin sependapat, menyatakan bahwa pembukaan kode broker dan kode domisili secara parsial justru memberikan transparansi dan keberpihakan lebih kepada investor ritel lokal. “Ini justru melindungi dari manuver investor asing yang mempermainkan investor lokal. Jadi dalam fenomena transaksi harian itu investor lokal bisa melihat lebih jelas dan tidak terlambat menanggapi pasar,” ungkapnya. Ditambah lagi, kondisi perekonomian global yang bergejolak saat ini justru menjadi momentum bagi investor lokal untuk mulai melakukan transaksi akumulasi.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.
Bursa Efek Indonesia (BEI) merumuskan beragam strategi untuk mendorong aktivitas perdagangan saham dan memperkuat pasar modal, dengan peluncuran bertahap mulai kuartal III/2025. Inisiatif utama meliputi kajian penambahan jam perdagangan, pembukaan kembali kode broker dan domisili investor, serta peluncuran program liquidity provider. Langkah-langkah ini bertujuan untuk meningkatkan likuiditas pasar, memperluas pengalaman investasi, dan memberikan layanan optimal bagi investor domestik maupun asing. BEI juga menunda implementasi kebijakan short selling hingga kondisi pasar lebih kondusif.
Meskipun jumlah investor meningkat, BEI masih menghadapi tantangan likuiditas saham yang belum merata dan nilai transaksi harian di bawah target. Program liquidity provider diharapkan meningkatkan transaksi dan mengurangi spread, sedangkan pembukaan kode broker bertujuan meningkatkan transparansi dan kenyamanan investor. Pandangan pelaku industri beragam mengenai perpanjangan jam perdagangan, namun umumnya mendukung upaya peningkatan transparansi. BEI juga gencar menggalakkan edukasi literasi keuangan sebagai perlindungan utama bagi investor.