TEKNA TEKNO JAKARTA. Sektor rumah sakit di Indonesia tengah dihadapkan pada serangkaian tantangan yang membayangi dalam jangka pendek. Kendati demikian, prospek jangka panjangnya tetap menunjukkan sinyal positif, didukung oleh kinerja emiten rumah sakit yang resilien dan upaya berkelanjutan dalam mencapai efisiensi.
Salah satu tantangan krusial adalah penundaan implementasi penuh sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) oleh Kementerian Kesehatan hingga Desember 2025. Penundaan ini disebabkan oleh tingkat kesiapan fasilitas yang masih rendah, di mana baru 57% dari 2.554 rumah sakit nasional yang memenuhi standar. Hambatan utama mencakup keterbatasan peralatan esensial seperti sistem nurse call dan sekat tempat tidur, serta ruang rawat inap yang belum memenuhi kriteria standar yang ditetapkan.
Menurut Investment Analyst Edvisor Provina Visindo, Indy Naila, penundaan implementasi KRIS memberikan ruang bagi rumah sakit untuk beradaptasi secara operasional. Namun, di sisi lain, hal ini berpotensi memperlambat tercapainya efisiensi sistem kesehatan yang lebih terintegrasi dengan teknologi. “Lalu juga akan ada efisiensi biaya yang tertunda untuk anggaran kesehatan sehingga belum ada insentif tinggi untuk mendukung sektor kesehatan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (13/6).
Tantangan jangka pendek lainnya datang dari Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) 7/2025, yang mewajibkan co-payment minimum sebesar 10% dari total klaim untuk asuransi kesehatan swasta. Indy menilai kebijakan ini dapat menekan volume pasien, yang pada gilirannya berdampak pada tekanan margin, khususnya bagi rumah sakit yang sangat bergantung pada pasien asuransi korporat.
VP Marketing, Strategy and Planning Kiwoom Sekuritas Indonesia, Oktavianus Audi, menambahkan bahwa efek kebijakan ini juga akan terasa pada efisiensi biaya oleh perusahaan asuransi. Diperkirakan, perusahaan asuransi akan lebih ketat dalam persetujuan tindakan medis, mengingat nasabah kini turut menanggung sebagian biaya.
Meskipun demikian, dalam jangka panjang, sektor ini diyakini akan menyaksikan peningkatan permintaan terhadap emiten rumah sakit yang memiliki reputasi positif dan menawarkan harga yang kompetitif. “Kami berpandangan positif pada emiten rumah sakit dengan sistem digital kuat dan segmen pasar menengah-atas, seperti MIKA dan HEAL,” sebut Oktavianus.
Oktavianus melanjutkan, tantangan jangka pendek lain terkait dengan penyusunan tarif layanan baru berbasis Indonesian Diagnosis Related Group (iDRG). Ia menjelaskan bahwa iDRG dipandang akan berdampak positif pada efisiensi emiten rumah sakit, karena klaim akan disesuaikan untuk mencegah overutilitasi layanan. “Namun, iDRG berpotensi menurunkan gross margin 10-30% akibat dari fix rate atau paket, khususnya dominasi pasien JKN,” jelasnya.
Oktavianus berpandangan bahwa kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada standarisasi melalui KRIS dan efisiensi pembiayaan dari iDRG. Namun, ia juga melihat adanya ruang bagi layanan tambahan melalui skema Coordination of Benefit (COB), yang membuka peluang kolaborasi dengan pihak swasta untuk mendukung keberlanjutan JKN. “Sehingga kami memperkirakan sektor healthcare masih akan resilien dengan outlook positif dalam jangka panjang,” tegasnya.
Melihat kondisi tersebut, Kiwoom Sekuritas Indonesia merekomendasikan “buy” untuk SILO dengan target harga Rp 2.620. Rekomendasi ini didasarkan pada layanan premium SILO dengan ketergantungan JKN yang rendah, sekitar 18%, sehingga dampak iDRG cenderung terbatas. Selanjutnya, MIKA direkomendasikan “buy” dengan target harga Rp 2.990, didukung fokusnya pada segmen non-JKN dan potensi peningkatan margin melalui skema COB split-bill untuk kelas premium.
Sementara itu, HEAL juga direkomendasikan “buy” oleh Kiwoom Sekuritas dengan target harga Rp 1.560. “Meskipun terdampak penyesuaian iDRG seiring dengan dominasi JKN atau sebesar 70%, tetapi dengan penambahan 700 bed dapat mempertahankan BOR 70%-75% dan optimalisasi sekitar 40% pasien JKN kelas I dengan COB akan mendongkrak revenue per pasien 7%-15%,” terangnya.
Di sisi lain, Indy Naila dari Edvisor Provina Visindo hanya menjagokan HEAL, memberikan rekomendasi “trading buy” dengan target harga Rp 1.500. “Ini karena banyak emiten kesehatan banyak yang memiliki valuasi mahal atau PER di atas industri,” tutupnya.
Sektor rumah sakit Indonesia menghadapi tantangan jangka pendek, termasuk penundaan implementasi sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) hingga Desember 2025 karena kesiapan fasilitas yang rendah. Kebijakan co-payment 10% untuk asuransi swasta (SEOJK 7/2025) berpotensi menekan volume pasien dan margin, terutama bagi rumah sakit yang bergantung pada pasien asuransi korporat. Selain itu, penyusunan tarif layanan berbasis Indonesian Diagnosis Related Group (iDRG) dapat menurunkan gross margin meski bertujuan meningkatkan efisiensi.
Meskipun demikian, prospek jangka panjang sektor ini tetap positif karena kinerja yang resilien dan peningkatan permintaan. Kebijakan pemerintah fokus pada standarisasi melalui KRIS dan efisiensi pembiayaan dari iDRG, namun skema Coordination of Benefit (COB) juga membuka peluang kolaborasi dengan swasta. Analis merekomendasikan “buy” untuk saham SILO, MIKA, dan HEAL, dengan HEAL juga direkomendasikan “trading buy” oleh analis lain, didasarkan pada strategi dan segmen pasar masing-masing emiten.